Khilafiyyah Maulid Nabi Muhammad dan Hari Besar Islam

Duniacahayahati.blogspot.com Situs tentang Ilmu Ma`rifatullah (Tauhid) Didalamnya banyak mengandung Ilmu Hikmah yang hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang diberikan Ilmu ini.

Khilafiyyah Maulid Nabi Muhammad dan Hari Besar Islam


Dapat Buku-Buku Ini di Toko Buku kesayangan anda

Menurut Imam Al- Suyuthi, Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dan Ibnu Hajar Al Haitsami memperingati maulid nabi itu baik, meskipun demikian mereka mengingkari perkara-perkara bid’ah yang menyertai peringatan maulid. Pendapat mereka ini berdasarkan kepada firman Allah Ta`ala;

“Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah”. (Qs. Ibrahim [14]: 5).

Imam an-Nasa’i, Abdullah bin Ahmad dalam Zawâ’id al-Musnad, Al-Baihaqi dalam Syu’ab al- Îmân  dari  Ubai  bin  Ka’ab  meriwayatkan  dari  Rasulullah, bahwa  Beliau menafsirkan kalimat  Ayyâmillah  sebagai  nikmat-nikmat  dan  karunia  Allah  Aza wa Jalla.  Dengan demikian maka makna ayat ini: “Dan ingatkanlah mereka kepada nikmat -nikmat dan karunia Allah”. Dan kelahiran nabi Muhammad adalah nikmat dan karunia terbesar yang mesti diingat dan disyukuri.

Rasulullah memperingati hari kelahirannya dengan melaksanakan puasa pada hari itu. Ini terlihat dari jawaban beliau ketika beliau ditanya mengapa beliau melaksanakan puasa pada hari Senin.

Rasulullah ditanya  tentang  puasa  hari  senin.  Beliau  menjawab,  “ Pada  hari  itu  aku dilahirkan dan hari aku dibangkitkan (atau hari itu diturunkan [al -Qur’an] kepadaku)”. (HR. Muslim).

Mengupas Kisah Pembebasan Tsuwaibah.

Para ulama menyebutkan dalam kitab-kitab hadits dan Sirah tentang pembebasan Tsuwaibah. Tsuwaibah  adalah  hamba  sahaya  milik  Abu  Lahab.  Ketika  Rasulullah  Saw  lahir,  maka Tsuwaibah  kembali ke  rumah  tuannya  menyampaikan  berita  kelahiran  nabi.  Karena  senang menyambut  kelahiran  nabi,  maka  Abu  Lahab  membebaskan  Tsuwaibah  dari  status  hamba sahaya. Al-‘Abbas bin Abdul Muththalib bermimpi bertemu dengan Abu Lahab, ia menanyakan keadaan Abu Lahab. Abu Lahab menjawab, “Saya tidak mendapatkan kebaikan setelah kamu, hanya saja saya diberi minum di sini, karena saya membebaskan Tsuwaibah dan azab saya diringankan setiap hari Senin”.

Kisah ini disebutkan para ulama hadits dan Sirah. Disebutkan oleh Imam Abdurrazzaq al- Shan’ani dalam kitab  al-Mushannaf,  Imam al-Bukhari dalam Shahih  al-Bukhari  (Kitab: al- Nikah, Bab: wa Ummahatukum allati Ardha’nakum). Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari, Imam Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah:

Karena ketika Tsuwaibah menyampaikan berita gembira kelahiran Muhammad bin Abdillah putra saudara laki-lakinya, maka Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah (dari hamba sahaya). Maka Abu Lahab diberi balasan atas perbuatannya itu”.Komentar Imam para ahli Qira’at al-Hafizh Syamsuddin bin al-Jazari seperti yang dinukil oleh al-Hafizh al-Suyuthi dalam kitab al-Hâwi li al-Fatâwa: “Jika  Abu  Lahab  kafir  yang  disebutkan  celanya  dalam  al-Qur’an,  ia  tetap  diberi balasan meskipun ia di dalam neraka, karena rasa senangnya pada malam maulid nabi. Maka bagaimanakah keadaan seorang muslim yang bertauhid dari umat nabi Muhammad Saw yang senang dengan kelahirannya dan mengerahkan segenap kemampuannya dalam mencintai Rasulullah Saw.  Sungguh, pastilah balasannya dari Allah Swt ia akan dimasukkan ke dalam surga karena karunia-Nya”. Al-Hafizh    Abdurrahman    bin    Al-Daiba’   Al-Syaibani  pengarang  Jâmi’   al-Ushûl meriwayatkan kisah ini dalam kitab Sirah karya beliau. Komentar beliau: “Keringanan azab bagi Abu Lahab hanya karena kemuliaan untuk Rasulullah, sebagaimana azab Abu Thalib diringankan, bukan karena Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah. Berdasarkan firman Allah Ta`ala: “ Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (Qs. Hud [11]: 16).

Komentar Syekh Syamsuddin bin Nashiruddin al-Dimasyqi dalam kitab Maurid al-Shâdi fî Maulid al-Hâdi tentang kisah diringankan azab Abu Lahab karena membebaskan Tsuwaibah saat ia gembira mendengar berita kelahiran Rasulullah; Jika orang kafir ini (Abu Lahab) yang telah dikecam Celaka kedua tangannya di dalam neraka kekal abadi Diriwayatkan bahwa setiap hari Senin selamanya, Azabnya diringankan karena merasa senang dengan Muhammad, Maka bagaimana dengan seorang hamba yang sepanjang umurnya,Gembira dengan kelahiran Muhammad dan mati dalam keadaan bertauhid

Pandangan pendapat Para Ulama tentang Peringatan Maulid Nabi

Pendapat Ibnu At Taimiyyah

“Mengagungkan  hari kelahiran  nabi  Muhammad dan  menjadikannya  sebagai perayaan terkadang dilakukan sebagian orang, maka ia mendapat balasan pahala yang besar karena kebaikan niatnya dan pengagungannya kepada Rasulullah.

Pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.

Al-Hafizh  Ibnu  Hajar  al-‘Asqalani  pernah  ditanya  tentang  peringatan  maulid  nabi, beliau menjawab: Hukum asal melaksanakan maulid adalah bid’ah, tidak terdapat riwayat dari seorang pun d ari kalangan  Salafushshalih  dari tiga  abad  (pertama).  Akan tetapi maulid  itu  juga mengandung banyak  kebaikan  dan  sebaliknya.  Siapa  yang  dalam  melaksanakannya mencari  kebaikan - kebaikan dan menghindari hal-hal yang tidak baik, maka maulid itu adalah bid’ah hasanah. Dan siapa yang tidak menghindari hal-hal yang tidak baik, berarti bukan bid’ah hasanah

Syekh ‘Athiyyah Shaqar mantan ketua Komisi Fatwa Al-Azhar Mesir:
Menurut pendapat saya, boleh memperingati maulid nabi pada saat ini ketika para pemuda nyaris melupakan agama dan keagungannya, pada saat ramainya perayaan-perayaan lain yang hampir mengalahkan hari-hari besar agama Islam. Peringatan maulid tersebut diperingati dengan memperdalam sirah (sejarah nabi), membuat peninggalan-peninggalan yang dapat mengabadikan peringatan maulid seperti membangun masjid atau lembaga pendidikan atau amal baik lainnya yang dapat mengaitkan antara orang yang melihatnya dengan Rasulullah dan sejarah hidupnya.

Pendapat Syekh Yusuf al-Qaradhawi.

Syekh Yusuf al-Qaradhawi ketua al-Ittihâd al-‘Âlami li ‘Ulamâ’ al-Muslimîn ditanya tentang hukum memperingati maulid nabi. Beliau memberikan jawaban:

Bismillah, Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah ke hadirat Rasulullah:
Ada bentuk perayaan yang dapat kita anggap dan kita akui memberikan manfaat bagi kaum muslimin. Kita mengetahui bahwa para shahabat –semoga Allah Swt meridhai mereka- tidak pernah merayakan maulid nabi, peristiwa hijrah dan perang Badar, mengapa?
Karena semua peristiwa ini mereka alami secara langsung. Mereka hidup bersama Rasulullah. Nabi Muhammad hidup di hati mereka, tidak pernah hilang dari fikiran mereka. Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Kami bercerita kepada anak-anak kami tentang peperangan Rasulullah sebagaimana kami menghafalkan satu surah al-Qur’an kepada mereka”. Mereka menceritakan kepada anak-anak mereka tentang apa yang terjadi pada perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar. Mereka menceritakan kepada anak-anak mereka tentang berbagai  peristiwa  dalam  kehidupan  Rasulullah.  Oleh  sebab  itu  mereka  tidak  perlu diingatkan tentang berbagai peristiwa tersebut.

Kemudian  tiba  suatu  masa,  kaum  muslimin  melupakan  berbagai  peristiwa  tersebut, semua peristiwa itu tidak lagi ada di benak mereka. Tidak ada dalam akal dan hati mereka. Oleh sebab  itu  kaum  muslimin  perlu  menghidupkan  kembali  makna -makna yang  telah  mati, mengingatkan kembali berbagai peristiwa yang terlupakan. Memang benar bahwa ada beberapa bentuk  bid’ah  terjadi,  akan  tetapi saya  nyatakan  bahwa kita  merayakan  maulid  nabi untuk mengingatkan kaum muslimin tentang kebenaran hakikat sejarah Rasulullah, kebenaran risalah Nabi Muhammad. Ketika saya merayakan maulid nabi, maka saya sedang merayakan lahirnya risalah Islam. Saya mengingatkan manusia tentang risalah dan sirah Rasulullah.

Pada kesempatan ini saya mengingatkan umat manusia tentang sebuah peristiwa agung dan banyak pelajaran yang bisa diambil, agar saya dapat mengeratkan kembali antara manusia dengan sejarah nabi. Firman Allah Ta`ala: “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (Qs. Al-Ahzab [33]: 21).

Agar kita bisa berkorban sebagaimana para shahabat berkorban. Sebagaimana Ali mengorbankan dirinya dengan menempatkan dirinya di tempat tidur nabi. Sebagaimana Asma’ berkorban dengan naik ke atas bukit Tsur setiap hari, sebuah bukit terjal. Agar kita dapat membuat strategi sebagaimana Rasulullah membuat strategi hijrah. Agar kita mampu bertawakkal kepada Allah Ta`ala sebagaimana Rasulullah Saw bertawakkal ketika Abu Bakar berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari mereka melihat ke bawah kedua kakinya, pastilah ia mel ihat kita”. Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Abu Bakar, tidaklah menurut prasangkamu tentang dua orang, maka Allah adalah yang ketiga. Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”.

Kita membutuhkan pelajaran-pelajaran  ini, Peringatan maulid  nabi merupakan sarana untuk mengingatkan kembali umat manusia akan  makna -makna yang mulia ini.  Saya yakin bahwa hasil positif di balik peringatan maulid adalah mengikat kembali kaum muslimin dengan Islam dan mengeratkan mereka kembali dengan sejarah nabi Muhammad agar mereka bisa menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan. Adapun hal-hal yang keluar dari semua ini, maka semua itu bukanlah perayaan maulid nabi dan kami tidak membenarkan seorang pun untuk melakukannya.

Peringatan maulid nabi tidak lebih dari sekedar ekspresi kegembiraan seorang hamba atas nikmat dan karunia besar yaitu kelahiran Muhammad. Dari beberapa pendapat ulama diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dipermasalahkan itu bukanlah peringatannya, akan tetapi cara memperingatinya. Ketika dengan peringatan maulid kesadaran umat semakin bertambah, membangkitkan semangat menjalankan agama, menyadarkan generasi muda akan nabi dan keagungan agamanya, maka maulid menjadi sesuatu yang baik. Akan tetapi perlu inovasi dalam peringatan  maulid  nabi,  tidak  hanya  sekedar  seremonial tanpa  makna  yang  membuat  umat terjebak pada rutinitas. Perlu menjadikan momen maulid nabi sebagai wasilah, sebagaimana yang dinyatakan Syekh al-Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki:

Perkumpulan-perkumpulan (maulid) ini adalah wasilah/sarana terbesar untuk berdakwah kepada Allah dan merupakan kesempatan emas yang semestinya tidak terlewatkan. Bahkan para da’i dan ulama mesti mengingatkan umat tentang nabi Muhammad, tentang akhlaknya, adab sopan santunnya,  keadaannya,  sejarah  hidupnya,  mu’amalah  dan ibadahnya.  Memberikan  nasihat kepada kaum muslimin dan  menunjukkan  jalan kebaikan dan kemenangan, memperingatkan umat akan musibah, bid’ah, kejelekan dan fitnah.

Pandangan tentang Peringatan Hari-Hari Besar Islam

Adapun peringatan hari-hari besar Islam seperti tahun baru Hijrah, Isra’ Mi’raj, Nuzul al-Qur’an dan peristiwa-peristiwa penting lainnya, maka sebenarnya tidak lebih dari sekedar mengisi taushiyah  atau kajian  dengan  tema-tema  tersebut  untuk  mengingatkan  ummat  Islam  tentang peristiwa yang pernah terjadi di masa silam. Misalnya, pengajian pada bulan Rajab diisi dengan tema kajian tentang Isra’ Mi’raj,  untuk kembali menyegarkan ingatan ummat Islam tentang peristiwa tersebut. Berikut pendapat Syekh Ibnu ‘Utsaimin tentang khatib yang memilih tema tertentu pada momen tertentu:

Anjuran memilih judul-judul yang sesuai dengan momentum pada khutbah Jum’at.

Pertanyaan: ada sebagian khatib, ketika mereka menyampaikan khutbah, mereka buat judul sesuai momentum. Misalnya, pada momen Isra’ Mi’raj, mereka sampaikan khutbah tentang Isra’ Mi’raj, mereka jelaskan tentang manfaat-manfaat Isra’ Mi’raj, kemudian mereka jelaskan tentang perbuatan bid’ah dan kekeliruan yang terjadi saat ini, apa hukumnya?

Jawaban:

Ini baik. Maksudnya, seorang khatib menyampaikan khutbah berdasarkan momentum, ini bagus. Demikianlah khutbah Rasulullah  pada umumnya. Oleh sebab itu, jika terjadi suatu peristiwa yang membutuhkan khutbah, maka Rasulullah tegak berdiri dan menyampaikan khutbah hingga beliau menyampaikannya kepada orang banyak. Bahwa seseorang memperhatikan momentum tertentu, kemudian menyampaikan judul khutbah sesuai momentum tersebut, maka itu baik. Misalnya, ketika bulan Ramadhan ia sampaikan tentang puasa. Pada momen haji ia sampaikan khutbah tentang ibadah haji. Pada bulan Rabi’ al-Awal ia sampaikan tentang Hijrah.
Maksudnya, memperhatikan momen-momen tertentu, ini boleh. Dan ini menunjukkan bahwa khatib tersebut seorang yang mengerti dan bijaksana. Jika dalam khutbah Jum’at saja boleh memasukkan judul tertentu, apalagi dalam ceramah, maka tentulah lebih boleh lagi.


"Selama Masih dalam Khilafiyyah maka suatu keniscayaan saling sesat dan menyesatkan"

Comments

Popular posts from this blog

Kitab Al Hikam Sesat

Hukum Mengirim Al Fatihah atau menghadiahkan Al Fatihah kepada yang sudah meninggal

Pelajaran Nahwu Shorof Bab Al Marifat & Annakiroh