Fiqh BitTakhrij Al Hadits


BAB NIAT

Sebagaimana dalam Hadits dari ‘Umar bin Al Khattab bahwasanya Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم  bersabda :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).
Dari Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu, dia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ 
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya itu akan diterima oleh Allah dan rasul-Nya.

Baca Selengkapnya Disini




عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ 
أَخْرَجَهُ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ. وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا
Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu 'anhu dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda: "Seandainya tidak memberatkan atas umatku niscaya aku perintahkan mereka bersiwak (menggosok gigi dengan kayu aurok) pada setiap kali wudlu." Dikeluarkan oleh Malik Ahmad dan Nasa'i. Oleh Ibnu Khuzaimah dinilai sebagai hadits shahih sedang Bukhari menganggapnya sebagai hadits muallaq (Sanad terputus kebawah)

Di dalam Al Qur`an Allah Ta`ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٦
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu, kedua tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”(QS Al-Maidah :6).

Baca Selengkapnya Disini 

 | |

BAB HAID Bagi Wanita

وَفِي حَدِيثِ أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ:  لِتَجْلِسْ فِي مِرْكَنٍ فَإِذَا رَأَتْ صُفْرَةً فَوْقَ اَلْمَاءِ فَلْتَغْتَسِلْ لِلظُّهْرِ وَالْعَصْرِ غُسْلاً وَاحِدًا وَتَغْتَسِلْ لِلْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ غُسْلاً وَاحِدًا وَتَغْتَسِلْ لِلْفَجْرِ غُسْلاً وَتَتَوَضَّأْ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ 
Dalam hadits Asma binti Umais menurut riwayat Abu Dawud: Hendaklah dia duduk dalam suatu
bejana air. Maka jika dia melihat warna kuning di atas permukaan air hendaknya ia mandi sekali untuk Dhuhur dan Ashar mandi sekali untuk Maghrib dan Isya' dan mandi sekali untuk shalat subuh dan berwudlu antara waktu-waktu tersebut.

وَعَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ: ( كُنْتُ أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيرَةً شَدِيدَةً فَأَتَيْتُ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَسْتَفْتِيهِ فَقَالَ: إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنَ اَلشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةً ثُمَّ اِغْتَسِلِي فَإِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلَاثَةً وَعِشْرِينَ وَصُومِي وَصَلِّي فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُكَ وَكَذَلِكَ فَافْعَلِي كَمَا تَحِيضُ اَلنِّسَاءُ فَإِنْ قَوِيتِ عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي اَلظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي اَلْعَصْرَ ثُمَّ تَغْتَسِلِي حِينَ تَطْهُرِينَ وَتُصَلِّينَ اَلظُّهْرَ وَالْعَصْرِ جَمِيعًا ثُمَّ تُؤَخِّرِينَ اَلْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ اَلْعِشَاءِ ثُمَّ تَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ اَلصَّلَاتَيْنِ فَافْعَلِي. وَتَغْتَسِلِينَ مَعَ اَلصُّبْحِ وَتُصَلِّينَ. قَالَ: وَهُوَ أَعْجَبُ اَلْأَمْرَيْنِ إِلَيَّ )  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ اَلْبُخَارِيّ 
Hamnah binti Jahsy berkata: Aku pernah mengeluarkan darah penyakit (istihadlah) yang banyak sekali. Maka aku menghadap Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk meminta fatwanya. Beliau bersabda: Itu hanya gangguan dari setan. Maka anggaplah enam atau tujuh hari sebagai masa haidmu kemudian mandilah. Jika engkau telah bersih shalatlah 24 atau 23 hari berpuasa dan shalatlah karena hal itu cukup bagimu. Kerjakanlah seperti itu setiap bulan sebagaimana wanita-wanita yang haid. Jika engkau kuat untuk mengakhirkan shalat dhuhur dan mengawalkan shalat Ashar (maka kerjakanlah) kemudian engkau mandi ketika suci dan engkau shalat Dhuhur dan Ashar dengan jamak. Kemudian engkau mengakhirkan shalat maghrib dan mengawalkan shalat Isya' lalu engkau mandi pada waktu subuh dan shalatlah. Beliau bersabda: Inilah dua hal yang paling aku sukai. (Diriwayatkan oleh Imam Lima kecuali Nasa'i. Shahih menurut Tirmidzi dan hasan menurut Bukhari). 

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; ( أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ شَكَتْ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلدَّمَ فَقَالَ: اُمْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اِغْتَسِلِي فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ كُلَّ صَلَاةٍ )  رَوَاهُ مُسْلِم 
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: ( وَتَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ )  وَهِيَ لِأَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ.
Dari 'Aisyah r.a bahwa Ummu Habibah binti Jahsy mengadukan pada Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tentang darah (istihadlah. Beliau bersabda: Berhentilah (dari shalat) selama masa haidmu menghalangimu kemudian mandilah. Kemudian dia mandi untuk setiap kali shalat. (Diriwayatkan oleh Muslim). 
Dalam suatu riwayat milik Bukhari: Dan berwudlulah setiap kali shalat. Hadits tersebut juga menurut riwayat Abu Dawud dan lainnya dari jalan yang lain. 

وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( كُنَّا لَا نَعُدُّ اَلْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ اَلطُّهْرِ شَيْئًا )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَه 
Ummu Athiyyah r.a berkata: Kami tidak menganggap apa-apa terhadap cairah keruh dan warna kekuningan setelah suci. (Riwayat Bukhari dan Abu Dawud. Lafadznya milik Abu Dawud). 

وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتْ اَلْمَرْأَةُ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا اَلنِّكَاحَ )  رَوَاهُ مُسْلِم 
Dari Anas Radhiyallaahu 'anhu bahwa orang yahudi jika ada seorang perempuan di antara mereka yang haid mereka tidak mengajaknya makan bersama. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Kerjakanlah segala sesuatu kecuali bersetubuh. (Diriwayatkan oleh Muslim). 

Baca Selengkapnya Disini


Tentang Pertanyaan ZAKAT

Nabi  shallallahu `alaihi wasallam telah  didatangi dua  orang   yang   meminta  harta  shodaqoh,   tapi  Rasullullah mendapati mereka adalah orang-orang yang kuat. Maka beliau berkata;

“Jika kalian mau, harta ini akan kuberikan kepada kalian, tetapi sebenarnya  ia  bukan  bagian  orang  kaya,  juga  bukan  bagian orang yang kuat dan mampu bekerja.”


Bagaimana   hukum  meninggalkan  zakat  itu?  Apakah  ada perbedaan antara orang yang meninggalkannya karena menentang, karena pelit, dan karena malas?

Jawabannya:

Bismillah,  segala puji hanya  bagi Allah, dan semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah atas rasulullah, keluarga beliau dan para sahabatnya dan setelahnya;

Mengenai meninggalkan zakat, hukumnya harus diperinci. Jika meninggalkan zakat karena me nentang  kewajibannya, padahal seluruh  syarat  wajib  zakat  dimilikinya,  maka  dia  telah  kafir menurut   ijma `   meski   ia   mengeluarkan   zakat,   selama   ia menentang kewajiban tersebut.

Adapun jika meninggalkan zakat karena pelit atau karena malas, orang  seperti  ini  dianggap sebagai orang  fasik  yang  telah mengerjakan sebuah dosa besar. Orang ini tergantung kepada masyi`ah   (kehendak)  Allah  jika   meninggal   atas  perbuatan tersebut, Allah berfirman;
“Sesungguhnya  Allah tidak  akan  mengampuni   dosa  syirik,  dan  Dia mengampuni  segala  dosa yang selain  dari (syirik)  itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa`: 48)
Al-Qur`an  dan  as-sunnah  yang  mutawatir  telah  menjelaskan bahwa orang yang meninggalkan za kat akan disiksa pada hari kiamat   dengan  hartanya  yang  tidak  dizakati.  Kemudian   ia melihat  ke mana arah jalannya,  apakah  ke neraka atau surga. Ancaman ini diberikan kepada orang yang meninggalkan zakat bukan karena menentang  kewajibannya.  Allah berfirman dalam surat At-taubah:
“Hai  orang-orang  yang beriman,   sesungguhnya   sebagian  besar  dari orang-orang alim Yahudi  dan  rahib-rahib  Nasrani, benar-benar  telah memakan harta orang dengan jalan yang batil, serta menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, juga tidak menafkahkannya  pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa  mereka akan mendapat)  siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan  emas  perak  itu dalam  neraka  Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung  mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah  harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,  maka rasakanlah sekarang (akibat dari)  apa yang kamu simpan itu".” (QS. At-Taubah: 34-35)
Sedangkan yang meninggalkan zakat uang kertas dan barang- barang   dagangan,   maka   hukumnya seperti   orang   yang meninggalkan zakat emas dan perak. Karena uang itu berperan sama seperti barang dagangan, emas dan perak.

Ada seorang lelaki yang memiliki berbagai macam binatang ternak, tetapi setiap jenis binatang ternak itu tidak sampai kepada  nisab, apakah  dia wajib mengeluarkan  zakat?  Jika dia harus mengeluarkan zakat, bagaimana cara mengeluarkannya?

Jawabannya:

Binatang ternak, apakah itu unta, sapi, atau kambing, masing- masing  memiliki  nisab  tersendiri. Seseorang  wajib  zakat  jika masing- masing binatang itu sudah sampai kepada nisab, disertai dengan  terpenuhinya  seluruh  syarat,  diantaranya:  hendaklah unta, sapi dan kambing itu adalah saaimah. Maksudnya semua hewan itu selama setahun atau hampir setahun  menggembala sendiri, dalam artian  hewan-hewan  itu  langsung  makan  dari padang  rumput  tanpa  dipungut  biaya. Karena  itu, jika  nisab unta,  sapi,  atau  kambing  belum  sempurna,  maka  tidak  ada zakatnya, dan masing- masing tidak boleh digabungkan.

Kalau seseorang  memiliki tiga unta peliharaan, empat kambing peliharaan,   dan  dua   puluh   ekor sapi  peliharaan,   ia  tidak diharuskan  untuk  menggabungkan  hewan-hewan   itu  karena setiap jenis nya belum sampai kepada nisab.

Tetapi  jika  hewan-hewan   itu  diperjual  belikan,  maka  harus digabungkan satu sama lain, karena dalam keadaan seperti ini, hewan-hewan  itu  menja di  barang  dagangan,  sehingga  harus dizakati seperti emas dan perak, sebagaimana  ditetapkan  oleh para ulama. Adapun dalil-dalilnya, sangat jelas bagi orang yang merenungkannya.

Ada  seseorang  yang  mempunyai  seratus  ekor  unta,  tetapi hampir   setahunnya   ia   memberi   makan   unta   itu   dengan biaya, apakah ia diwajibkan zakat ?

Jawabannya:

Jika binatang ternak yang berupa unta, sapi, atau kambing itu bukan  saaimah  selama  setahun  atau hampir  setahun,  maka hewan-hewan  itu tidak wajib  dizakati.  Karena  Nabi shallallahu`alaihi wasallam mensyaratkan  untuk  kewajiban zakat  hewan.

ternak  harus  saaimah,  yaitu  memakan  rumput  sendiri  tanpa biaya sepeserpun dari pemiliknya.

Karena  itu,  jika  pemilik  hewan  tersebut  membe rinya  makan dengan   mengeluarkan   biaya, baik selama   setahun   atau setengah  tahun,  maka  ia  tidak wajib  menzakati.  Kecuali jika hewan-hewan tadi diperjual belikan. Jika digunakan untuk jual beli maka hewan-hewan itu wajib dizakati, karena ia merupakan barang dagangan,  seperti halnya  tanah  yang  siap  jual,  mobil dan barang-barang lain yang diperjual belikan. 
Jika   barang-barang  yang  diperjual  belikan  itu  sudah mencapai  nishab  emas  dan  perak,  maka sang  pemilik  wajib mengeluarkan zakatnya sebagaimana diterangkan didepan.

Ada seseorang yang berada di negeri bukan negerinya, lalu uang  yang  dimiliknya  dicuri orang,  apakah  ia  diberi  zakat meski   transaksi   keuangan  di   zaman   sekarang   sangat mudah?

Jawabannya:

Orang yang ditanyakan ini tergolong ibnu sabil (perantau), jika dia  memang   membutuhkan,   atau   kehilangan   nafkah kesehariannya,  atau   kecurian,   maka   ia   harus  diberi  zakat sehingga ia bisa kembali ke nege rinya. Meski ia adalah seorang kaya raya di negeri tersebut.

Ada   seorang   pedagang   yang   menjual   berbagai   macam barang     dagangan,     seperti     baju,   keramik,  dan   lain sebagainya. Maka bagaimana Ia mengeluarkan zakat?

Jawabannya:

Ia wajib mengeluarkan zakat jika sampai setahun atas barang dagangan  yang   dipersiapkannya untuk dagang.   Yaitu:   jika ukurannya  sudah   mencapai  nisab  emas  atau  perak,  sesuai dengan hadits-hadits  yang  ada.  Diantaranya:  hadits Samurah bin Jundub dan hadits Abu Dza rr Al- Ghifari ra dhiyallahu anhuma.

Marak   di    zaman    ini    menaruh    saham    di    perusahaan - perusahaan. Pertanyaan kami, apakah dalam saham-saham itu ada zakatnya, dan bagaimana mengeluarkannya ?

Baca Selengkapnya Disini


TAKBIRATUL IHKRAM

Seseorang mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan ‘Allahu Akbar‘ ketika memulai shalat, ini 
dinamakan takbiratul ihram. Takbiratul ihram termasuk rukun shalat, shalat tidak sah tanpanya. Dalil bahwa takbiratul ihram adalah rukun shalat adalah hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’ shalatuhu, yaitu tentang seorang sahabat yang belum paham cara shalat, hingga setelah ia shalat Nabi bersabda kepadanya:
ارجِعْ فَصَلِّ فإنك لم تُصلِّ
“Ulangi lagi, karena engkau belum shalat”
Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga tidak teranggap sudah menunaikan shalat. Kemudian Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengajarkan shalat yang benar kepadanya dengan bersabda:
إذا قُمتَ إلى الصَّلاةِ فأسْبِغ الوُضُوءَ، ثم اسْتقبل القِبْلةَ فكبِّر
“Jika engkau hendak shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah” (HR. Bukhari 757, Muslim 397)
مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم
“Pembuka shalat adalah bersuci (wudhu), yang mengharamkan adalah takbir dan yang menghalalkan adalah salam” (HR. Abu Daud 618, dishahihkan Al Albani di Shahih Abu Daud).
Sebagaimana kita ketahui, ketika dalam keadaan shalat, kita diharamkan berbicara, makan, minum dan lain-lain hingga shalat selesai.

Mengganti ucapan takbiratul ihram, misalnya dengan الله أجلُّ /Allahu Ajall/ atau الله أعظمُ /Allahu A’zham/ atau lafadz-lafadz lain, hukumnya haram, walaupun masih berupa lafadz pujian dan pengagungan terhadap Allah. Karena lafadz takbir itu tauqifiyyah, ditetapkan oleh dalil. 
Namun para ulama berselisih pendapat jika lafadz takbir menggunakan ucapan الله الأكبرُ /Allahul Akbar. Sebagian ulama, semisal Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i, menganggapnya sah. Imam Syafi’i menyatakan bahwa alif lam dalam lafadz tersebut hanya tambahan tidak mengubah lafadz dan makna (Shifatu Shalatin Nabi, 58). 
Demikian juga perihal mengganti lafadz Allahu Akbar dengan bahasa selain arab adapun yang benar, semua itu menyelisihi sunnah Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  . Tidak boleh mengganti lafadz takbir dengan selain الله أكبرُ. Karena hadits-hadits yang menyebutkan tentang lafadz takbir dalam shalat, disebutkan hanya ada lafadz الله أكبرُ.  Misalnya hadits:

إنَّهُ لا تتمُّ صلاةٌ لأحدٍ منَ النَّاسِ حتَّى يتوضَّأَ فيضعَ الوضوءَ مواضعَهُ ثمَّ يقولُ اللَّهُ أَكبر
“Tidak sempurna shalat seseorang sampai ia berwudhu, lalu ia membasuh air wudhu pada tempat-tempatnya, lalu ia berkata ‘Allahu Akbar’ (HR Abu Daud 857, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Dan Nabi صلّى الله عليه وسلّم bersabda:
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي 
“Dan Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat” (HR. Bukhari 631, 5615, 6008).
Adapun bagi orang non-arab yang kesulitan atau tidak bisa melafalkan takbir, sebagian ulama seperti Syafi’iyyah, Hanabilah, Abu Yusuf membolehkan pelafalan takbir dengan bahasa lain. Sebagian ulama seperti Malikiyyah dan Al Qadhi Abu Ya’la berpendapat bahwa gugur baginya kewajiban takbiratul ihram.

Baca Selengkapnya Disini 

Dalil sebelum takbir

Hadits dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu:

كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا قام إلى الصلاة؛ رفع يديه حتى تكونا حذو منكبيه ثم كبَّر
“Pernah Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai
keduanya setinggi pundak, lalu bertakbir” (HR. Muslim 390)

Hadits dari Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu:

كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا قام إلى الصلاة؛ يرفع يديه حتى يحاذي بهما منكبيه، ثم يكبر 
 “Pernah Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai keduanya setinggi pundak, lalu bertakbir” (HR. Abu Daud 729 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Dalil bersamaan dengan takbir

Hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhu:

رأيت النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افتتح التكبير في الصلاة، فرفع يديه   حين يكبر حتى يجعلهما حذو منكبيه، وإذا كبَّر للركوع؛ فعل مثله
 “Aku melihat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memulai shalatnya dengan takbir. Lalu beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga keduanya setinggi pundak. Jika beliau hendak ruku, beliau juga melakukan demikian” (HR. Bukhari 738).

Hadits Malik Ibnul Huwairits radhiallahu’anhu:

أن رسول الله كان إذا صلى ، يرفع يديه حين يكبر حيال أذنيه ، وإذا أراد أن يركع ، وإذا رفع رأسه من الركوع
“Rasulullah biasanya jika shalat beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga sampai setinggi kedua telinganya. Beliau lakukan itu juga ketika hendak ruku’ atau hendak mengangkat kepala dari ruku’” (HR. An Nasa-i 879, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Nasa-i)

Baca Selengkapnya disini


Doa Iftitah, Istiftah dan Al Fatihah

Hukum membacanya adalah sunnah. Diantaranya dalilnya adalah haditst dari Abu Hurairah:

كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول: … ” فذكره
“Biasanya Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa)” (Muttafaqun ‘alaih).

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ
“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah kesalahanku sebagaimana pakaian yang putih disucikan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju, dan air dingin” (HR.Bukhari 2/182, Muslim 2/98)

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ، اللهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي، وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي، وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا، إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang Maha Pencipta langit dan bumi sebagai muslim yang ikhlas dan aku bukan termasuk orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya. Oleh karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan aku termasuk orang yang aku berserah diri. Ya Allah, Engkaulah Maha Penguasa. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau dan Maha Terpuji. Engkaulah Tuhanku dan aku adalah hambaMu. Aku telah menzhalimi diriku sendiri dan akui dosa-dosaku. Karena itu ampunilah dosa-dosaku semuanya. Sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni segala dosa melainkan Engkau. Tunjukilah aku akhlak yang paling terbaik. Tidak ada yang dapat menunjukkannya melainkan hanya Engkau. Jauhkanlah akhlak yang buruk dariku, karena sesungguhnya tidak ada yang sanggup menjauhkannya melainkan hanya Engkau. Akan aku patuhi segala perintah-Mu, dan akan aku tolong agama-Mu. Segala kebaikan berada di tangan-Mu. Sedangkan keburukan tidak datang dari Mu. Orang yang tidak tersesat hanyalah orang yang Engkau beri petunjuk. Aku berpegang teguh dengan-Mu dan kepada-Mu. Tidak ada keberhasilan dan jalan keluar kecuali dari Mu. Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Kumohon ampunan dariMu dan aku bertobat kepadaMu” (HR. Muslim 2/185 – 186).

اللَّهِ أَكْبَرُ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ
“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang Maha Pencipta langit dan bumi sebagai muslim yang ikhlas dan aku bukan termasuk orang yang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan aku termasuk orang yang aku berserah diri. Ya Allah, Engkaulah Maha Penguasa. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Engkau. Mahasuci Engkau dan Maha Terpuji”. (HR. An Nasa-i, 1/143. Di shahihkan Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi 1/251).

Baca Selengkapnya disini 

BAB RUKU & BACAAN RUKU

Diriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’ad a, ia berkata : “ Aku pernah sholat disamping ayahku (kemudian ruku’) dengan meletakkan tangan dipaha dengan jari-jemari merapat.  Lantas ayahku melarang dari hal itu, ia berkata, “Kami diperintahkan untuk meletakan tangan dilutut (dikala ruku’) (HR. Ahmad).
Meluruskan punggung di saat ruku’Diantara sifat ruku’ Nabi Muhammad صلّى الله عليه وسلّم  di dalam sholat adalah beliau menegakkan punggungnya, dan menyeimbangkan kepala, yakni tidak menunduk dan juga tidak mendongak. Sebagaimana keterangan dari ummul mukminin Aisyah yang mengatakan : “Beliau ketika ruku’ tidak mengangangkat atau menundukkan kepala, tetapi seimbang diantara keduanya.” (HR. Muslim).
Tentang sifat punggung Rasulullah صلّى الله عليه وسلّم  yang lurus dalam ruku’nya, disifati oleh sayidina Ali, “ Adalah Rasulullah صلّى الله عليه وسلّم  ketika ruku’ seandainya diletakkan gelas yang berisi air, niscaya tidak akan tumpah.” (HR. Ahmad)
Hal ini dikarenakan lurusnya punggung dan tenangnya beliau dalam ruku.

Tuma’ninah dalam ruku’
Rasulullah صلّى الله عليه وسلّم  bersabda : “Sejelek-jeleknya pencuri ialah orang yang mencuri dari shalatnya”.Mereka bertanya: “Ya Rasulullah. Bagaimana caranya mencuri dari shalat itu ?”Beliau menjawab : “Tidak disempurnakanNya ruku’ dan sujudnya”,atau dalam riwayat lain dikatakan, “Tidak diluruskannya punggung sewaktu ruku’ dan sujud.” (HR. Ahmad dan lainnya).
Bacaan dalam ruku’
Ada beberapa bacaan ruku’ yang dibaca Rasulullah  dalam sholatnya. Ini artinya beliau terkadang membaca dengan sebuah bacaan namun terkadang menggantinya dengan yang lain. Berikut diantara bacaan ruku’ tersebut :
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ
“Maha suci rabbku yang maha agung.”([1])
Atau biasa juga dengan lafadz berikut :
سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ
Maha Suci Rabbku yang maha Agung dan maha terpuji.” ([2])
Menurut mayoritas ulama kalimat dzikir diatas batas minimalnya adalah dibaca sekali dan sempurnanya dibaca tiga kali. Pendapat ini didasarkan kepada hadits riwayat Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah صلّى الله عليه وسلّم  bersabda : “Apabila kalian ruku’ maka bacalah dalam ruku’ kalian ‘Subhana rabbiyal ‘adziem’ tiga kali.” (HR. Tirmidzi).
 Sebagian ulama menyukai membaca tasbih sebanyak sepuluh kali, hal ini didasarkan pada perkataan dari shahabat Anas bin Malik ketika melihat Umar bin Abdul Aziz sholat, ia berkata : “Aku tidak pernah sholat di belakang seorangpun (sepeninggal Rasulullah) yang sholatnya paling mirip dengan Rasulullah  dari pada pemuda ini (Umar bin Abdul Aziz). Sa’id bin Jubair berkata : “Maka kami kira-kirakan waktu ruku’ dan sujudnya sekitar sepuluh kali bacaan tasbih.”(HR Abu Dawud)
Namun Malikiyah mengatakan banyaknya bacaan tersebut tidak meiliki batasan. ([3])
Bacaan ruku’ lainnya adalah dzikir berikut ini :

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Maha suci Engkau wahai rabb kami, segala pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku).” (Mutafaqqun ‘alaih)
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
“Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh.” (HR. Muslim)
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha Besar.”  ([4])
Selanjutnya, juga bisa membaca dzikir berikut ini:
اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، خَشَعَ لَكَ سَمْعِيْ وَبَصَرِيْ وَمُخِّيْ وَعَظْمِيْ وَعَصَبِيْ وَمَا اسْتَقَلَّ بِهِ قَدَمِيْ
Ya Allah, untukMu aku ruku’. KepadaMu aku beriman, kepadaMu aku berserah diri. Pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku, sarafku dan apa yang berdiri di atas dua tapak kakiku, telah merunduk dengan khusyuk kepada-Mu.” ([5] )
سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوْتِ وَاْلمَلَكُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
“Maha Suci (Allah) Yang memiliki Keperkasaan, Kerajaan, Kebesaran dan Keagungan.” [6]

Dzikir Yang Dilarang Ketika Ruku'
Bentuk bacaan dzikir yang dilarang ketika dalam kondisi ruku’ adalah membaca ayat-ayat dari Al Quran. Berdasarkan hadits: 
"Bahwasanya Nabi صلّى الله عليه وسلّم  melarang membaca Al Quran dalam ruku' dan sujud." (HR. Muslim).

Baca Selengkapnya Disini 

I'TIDAL DARI RUKU'

Cara i'tidal dari ruku'

 عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ اَنَّهُ رَاَى النَّبِيَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ كَبَّرَ (وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ اُذُنَيْهِ) ثُمَّ اِلْتَحَفَ بِثَوْبِهِ. ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنىَ عَلَى الْيُسْرَى. فَلَمَّا اَرَادَ اَنْ يَرْكَعَ اَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ ثُمَّ رَفَعَهُمَا. ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ. فَلَمَّا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ. فَلَمَّا سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ. مسلم
Dari Wail bin Hujr, sesungguhnya ia melihat Nabi mengangkat kedua tangannya pada waktu memulai shalat, beliau bertakbir (Hammam, perawi hadits menerangkan : beliau mengangkat tangannya hingga sejajar kedua telinganya) Kemudian beliau berselimut dengan pakaiannya, kemudian beliau meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya (bersedekap). Ketika beliau akan ruku’, beliau mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya, kemudian mengangkat keduanya, kemudian bertakbir dan ruku’. Ketika beliau membaca سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ, beliau mengangkat kedua tangannya, dan ketika sujud beliau sujud diantara dua tapak tangannya” [HR. Muslim juz I, hal. 301].

عن حُذَيْفَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ. ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّى بِهَا فِى رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا. ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلاً إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُولُ « سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ ». فَكَانَ رُكُوعُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ ثُمَّ قَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ». ثُمَّ قَامَ طَوِيلاً قَرِيبًا مِمَّا رَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ « سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى ». فَكَانَ سُجُودُهُ قَرِيبًا مِنْ قِيَامِهِ. قَالَ وَفِى حَدِيثِ جَرِيرٍ مِنَ الزِّيَادَةِ فَقَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ ».
"Dari Abu Huzaifah, ia berkata, suatu ketika pada malam hari aku shalat bersama Rasulullah صلّى الله عليه وسلّم , beliau membaca surat al-Baqarah (dari ayat pertama). Maka aku berkata dalam hati bahwa beliau akan ruku' pada ayat yang ke-100. Kemudian sampai pada ayat yang ke-100 beliau tetap melanjutkan bacaannya. Aku berkata dalam hati, beliau akan ruku' setelah menyelesaikannya. Setelah selesai surat al-Baqarah, beliau melanjutkan bacaannya ke surat an-Nisa, lalu ke surat Ali Imran, beliau membaca dengan bacaan yang tersambung jelas. Jika beliau melewati ayat tasbih, maka beliau bertasbih, jika melewati ayat-ayat tentang doa, beliau berdoa, dan jika melewati ayat-ayat yang perlu perlindungan, beliau memohon perlindungan. Kemudian beliau ruku' dan membaca,"Subhana rabbiyal-`Azhim." Beliau ruku' dengan lama, sebagaimana beliau berdiri. Kemudian beliau bangun dari ruku dan membaca,"Sami'allahu liman hamidah." Kemudian beliau tetap berdiri sebagaimana lamanya beliau ruku. Kemudian beliau sujud dan membaca,"Subhana rabbiyal A`la,". Beliau sujud dengan lama, sebagaimana lamanya beliau berdiri. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jarir, terdapat tambahan kalimat,"Sami`allahu liman hamidah rabbana lakalhamdu,".(Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim).

عن حذيفة بن اليمان: - أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إذا ركع   ( سبحان ربي العظيم ) ثلاث مرات وإذا سجد قال ( سبحان ربي الأعلى ) ثلاث مرات
“Dari Hudzaifah, Bahwa Ia mendengar Rasulullah  Membaca ketika ruku : "Subhana rabbiyal-`Azhim' tiga kali, dan jika beliau sujud, beliau membaca:"Subhana rabbiyal-A`la, tiga kali.
(Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam bab al-Tasbih fi al-Ruku).

Baca Selengkapnya Disini 

BAB SUJUD DAN BACAAN SUJUD
Sujud

Nabi Muhammad صلی الله عليه وسلم Meletakkan kedua tangannya kelantai sebelum kedua lututnya, badan turun condong kedepan menuju ke tempat sujud, dengan meletakkan kedua tangan terlebih dahulu baru kemudian meletakkan kedua lututnya dan kemudian meletakkan kepala dengan menyentuhkan/menekankan hidung dan jidat/kening/dahi ke lantai di antara dua tangan (tangan sejajar dengan pundak atau daun telinga).
Dalilnya seperti yang telah disebutkan: Nabi صلی الله عليه وسلم Meletakkan kedua tangannya kelantai sebelum kedua lututnya (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1/76/1), ad-daraquthni dan Al-Hakim, Shahih dan disepakati oleh Ad-dzahabi. Pendapat ini juga dikatakan oleh Imam Malik dan pendapat Imam Ahmad dalam at-Tahqiiq karya Ibnul Jauzi (108/2), Al-marwazi meriwayatkan dalam al-masaa-ilnya (1/47/1), dengan sanad Shahih dari Imam Al-Auza'i, beliau berkata: "Saya menyaksikan orang-orang meletakkan tangannya ke tanah sebelum meletakkan lututnya")
Adapun dalil-dalil Lainnya: Nabi Muhammad صلی الله عليه وسلم bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian sujud, janganlah ia turun seperti unta menderum, hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya".
 (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tamam dalam Al-Fawaid No. 108/1, Juga Oleh An-Nasa'i dalam ashShugraa dan Al-Kubraa (54/1)).
Terkadang Nabi صلّى الله عليه وسلّم  meletakkan tangannya dan membentangkan serta merapatkan jari-jarinya dan menghadapkannya ke arah kiblat."
 (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
"Beliau meletakkan tangannya sejajar dengan bahunya" (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Tirmidzi).
"Terkadang beliau meletakkan tangannya sejajar dengan daun telinganya." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An-Nasa'i)
Sedangkan Hadits Wail (dibawah ini) dan Hadits lain yg bertentangan dengan Hadits diatas secara sanad tidak shahih.
Wail bin Hujr, berkata, "Aku melihat Rasulullah صلّى الله عليه وسلّم  ketika hendak sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila bangkit mengangkat dua tangan sebelum kedua lututnya." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Tirmidzi An-Nasa'i, Ibnu Majah dan hadits Riwayat Ad-Daarimy).
"Terkadang beliau mengangkat kedua tangannya ketika hendak sujud." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An-Nasa'i dan Daraquthni).

1. Ukuran sempurnanya ruku, sujud & i’tidal
 حَدَّثَنَا بَدَلُ بْنُ الْمُحَبَّرِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي الْحَكَمُ عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ كَانَ رُكُوعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُجُودُهُ وَبَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ مَا خَلَا الْقِيَامَ وَالْقُعُودَ قَرِيبًا مِنْ السَّوَاءِ (رواه البخاري)
Badal bin Al Muhabbar berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] berkata, telah mengabarkan kepadaku [Al Hakam] dari [Ibnu Abu Laila] dari [Al Bara’] berkata : “Rukuk Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, sujudnya, duduk antara dua sujud, dan ketika mengangkat kepala dari rukuk, tidaklah berbeda antara berdiri (i’tidal) dan duduknya melainkan semuanya sama (dalam thu’maninah).” (HR. Bukhari)

Baca Selengkapnya Disini 

Duduk antara dua sujud

وَكَانَ يَفْتَرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
“Beliau menjulurkan ( telapak) kaki kirinya dan menegakkan (telapak) kaki kanannya.”(HR. Muslim no. 1110)

Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhu berkata;
مِنْ سُنَّةِ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ الْقَدَم الْيُمْنَى
“Termasuk sunnah shalat adalah menegakkan telapak kaki yang kanan, menghadapkan jari-jemari kaki ke arah kiblat, dan duduk diatas kaki kiri.” (HR. an-Nasa’i no. 1157, 1158, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan an-Nasa’i dan al-Irwa’ no. 317).

Duduk seperti inilah yang diistilahkan duduk iftirasy. Terkadang Rasulullah صلّى الله عليه وسلّم  duduk iq’a (إِقْعَاء), sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas r.a Thawus pernah bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu anhu tentang iq’a di atas dua tumit, maka beliau menjawab bahwa duduk seperti itu sunnah. (HR. Muslim no. 1198).

Duduk ini dilakukan antara sujud yang pertama dan sujud yang kedua, pada raka'at pertama sampai terakhir. Ada dua macam tipe duduk antara dua sujud, duduk iftirasy (duduk dengan meletakkan pantat pada telapak kaki kiri dan kaki kanan ditegakkan)  dan duduk iq'a (إِقْعَاء),  (duduk dengan menegakkan kedua telapak kaki dan duduk diatas tumit). Hadits: Dari 'Aisyah berkata: "Nabi صلّى الله عليه وسلّم  menghamparkan kaki beliau yang kiri dan menegakkan kaki yang kanan, baliau melarang dari duduknya syaithan." (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim).

Komentar Syaikh Al-Albani: duduknya syaithan adalah dua telapak kaki ditegakkan kemudian duduk dilantai antara dua kaki tersebut dengan dua tangan menekan dilantai.
Dari Rifa'ah bin Rafi' dalam haditsnya- dan berkata Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "Apabila engkau sujud maka tekankanlah dalam sujudmu lalu kalau bangun duduklah di atas pahamu yang kiri." (Hadits dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadhz Abu Dawud).
 Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terkadang duduk iq'a (إِقْعَاء), yakni duduk dengan menegakkan telapak dan tumit kedua kakinya. (Hadits dikeluarkan oleh Muslim)
Waktu duduk antara dua sujud ini telapak kaki kanan ditegakkan dan jarinya diarahkan ke kiblat:
Beliau menegakkan kaki kanannya (Al-Bukhari).

Baca Selengkapnya Disini 


BAB SALAM DALAM SHOLAT

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
أَنَّهُ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
“Bahwasanya beliau mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri seraya mengucapkan, ‘ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH, ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH’.” (HR. Abu Daud no. 845, At-Tirmizi no. 295, An-Nasai no. 1303, dan Ibnu Majah no. 906).

Dari Wail bin Hujr radhiallahu ‘anhu dia berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ وَعَنْ شِمَالِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
“Aku shalat di belakang Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka beliau memberi salam ke arah kanan dengan mengucapkan ‘ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH’,” dan ke arah kiri dengan mengucapkan : ‘ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH’.” (HR. Abu Daud no. 997 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`: 2:31, 32).

Ibnu Umar menceritakan :
وَذَكَرَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ عَنْ يَـمِينِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ عَنْ يَسَارِهِ
Beliau membaca ‘ASSALAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH’ dengan menoleh ke kanan, dan membaca ‘ASSALAMU ‘ALAIKUM’ dengan menoleh ke kiri. (HR. Nasa’i 1321 dan dinyatakan Hasan Shahih oleh Al-Albani).


TRANSAKSI ZAKAT TIDAK BOLEH DIDALAM MASJID

"Haram Hukum nya dalam bertransaksi Zakat di dalam masjid dengan menjual beras kepada para pembayar zakat fitrah apalagi menjual beras yang sudah dibeli oleh pembayar zakat sebelumnya maka dua dosa sekaligus dalam waktu yang sama dan berulang-ulang setiap harinya sampai penutupan badan amil itu sendiri."

Adapun Dalil-Dalilnya sebagai berikut :

عَن أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُوْلُوا لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Jika kamu melihat orang menjual atau membeli di mesjid maka katakanlah, ‘Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada daganganmu.’” (Tirmidzi: 1232 dan  Abu Daud: 400, ad-Darimi: 1365, Shahih Ibnu Hibban: 1650, dinilai shahih oleh al-Albani dan ar-Arnauth dalam Shahih Ibnu Hibban)

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنِ الشِّرَاءِ وَ الْبَيْعِ فِي الْمَسْجِد
“Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ melarang jual-beli di masjid.” (Ibnu Majah : 749)
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434).

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320).

Adapun Zakat berupa Uang atau Makanan Pokok dalam hal zakat fitrah terjadi khilafiyah.
Salah satu Imam Mazhab Membolehkan yaitu Imam Hanafi, adapun Imam Syafi`i, Maliki, Hanbali tidak membolehkan kecuali dari bahan makanan.
Dari hadits di atas Imam Malik, Imam Syafi`i, dan Imam Hanbali menyebutkan bahwa zakat fitrah harus dengan makanan pokok. Ketika Imam Ahmad bin Hambal ra ditanya tentang membayar zakat fithrah dengan uang maka beliau menjawab,”Aku takut hal itu tidak memadai dan hal itu bertentangan dengan sunnah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”. Sehingga beliau menganggap bahwa hal itu adalah bertentangan dengan sunnah Rasulullah صلّى الله عليه وسلّم  Ibnu Hazm pun termasuk kalangan yang tidak membenarkan untuk membayar zakat fithrah dengan uang sebagai pengganti dari makanan pokok. (Lihat Al-Muhalla 6/137).

Baca Selengkapnya disini 

Zikir setelah Sholat berdasarkan Hadits Shohih

Dalam hal berzikir setelah Sholat makan kita wajib merujuk kepada Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam.

.“Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ilmu  yang bermanfaat, rezki yang baik dan amal yang diterima “  . (Diucapkan setelah salam yang mana khusus pada shalat Subuh. Ibnu   Majah dan  lainnya.  Lihat   Shahih  Ibnu   Majah:  1/152 dan Majmauzzawa’id: 10/111). 
“Aku minta ampun kepada  Allah “(dibaca tiga kali),  “  Ya  Allah, Engkau  pemberi  keselamatan,  dan dari-Mu   keselamatan,    Maha   Suci    Engkau,   wahai Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Mulia “.( HR Muslim: 1/414).

Baca Selanjutnya Disini 

Comments

Popular posts from this blog

Kitab Al Hikam Sesat

Hukum Mengirim Al Fatihah atau menghadiahkan Al Fatihah kepada yang sudah meninggal

Pelajaran Nahwu Shorof Bab Al Marifat & Annakiroh